PG Dikdas, Jakarta – Kebijakan zonasi adalah kebijakan yang sangat baik untuk menghilangkan kastanisasi dalam pendidikan. Dengan sistem zonasi ini efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran untuk pelayanan pendidikan juga akan bisa diwujudkan. Misalnya dari aspek transportasi yang harus dibelanjakan oleh orang tua itu bisa diminimalkan. Kebijakan zonasi juga memiliki semangat untuk pemenuhan hak asasi manusia, dari setiap anak, bahwa sekolah negeri adalah sekolah negara, sekolah rakyat, tentu menjadi hak setiap warga untuk mendapatkan pendidikan di lokasi yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Terkait kebijakan zonasi untuk pemerataan mutu pendidikan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah dilakukan, kemudian rencananya redistribusi guru.
“Tentu ini akan terjadi perubahan yang cukup lumayan juga dari kebiasaan para orang tua yang senantiasa berlomba-lomba mencari sekolah favorit, kemudian guru-guru yang banyak menumpuk di sekolah-sekolah unggul, sekolah favorit tersebut. Nah sekarang dengan kebijakan zonasi ini maka sekolah yang kita labeli sebagai sekolah favorit menjadi bukan semata untuk anak yang mereka punya NEM tinggi dengan prestasi akademik yang tinggi. Tetapi mereka harus bisa terbuka untuk melayani anak-anak dengan capaian akademik yang masih rendah. Tapi bukan berarti mereka karena prestasinya rendah lalu disingkirkan,” kata Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar, Praptono.
“Bahwa kalau ada perubahan peserta didik, harus juga kita ikuti dengan tahapan berikutnya, bahwa mereka anak-anak yang notabene merasa bahwa NEM-nya sudah tinggi, karena jauh dari sekolah yang kita sebut dengan sekolah favorit tadi maka mereka akan belajar di sekolah-sekolah yang di pinggir. Maka Kemendikbud akan segera bekerja sama dengan dinas pendidikan baik itu provinsi untuk pendidikan menengah maupun kabupaten/kota untuk pendidikan dasar melakukan redistribusi guru yang kita sebut guru-guru hebat tadi untuk tidak menumpuk di sekolah-sekolah favorit, tetapi mereka harus banyak memberikan kontribusinya untuk peningkatan mutu di sekolah-sekolah pinggiran,” jelas Praptono.
Harmoni saling berbagi praktik baik pembelajaran ini nantinya akan berimbas secara luas tidak hanya di ekosistem sekolah.
“Nah dengan percampuran guru-guru hebat dengan yang tidak hebat, anak-anak yang berprestasi tinggi dengan mereka yang berprestasi kurang maka harapannya terjadi pembelajaran teman-teman sebaya untuk tingkat siswa, kemudian terjadi proses pendampingan untuk di tingkat guru. Sehingga kemudian mereka yang berada di kelompok berpotensi tinggi bisa membagi potensinya untuk mereka yang rendah. Dan mereka yang rendah akan terus bisa belajar bagaimana untuk bisa menjadi kelompok yang berprestasi tinggi,” tutur Praptono.
“Ini akan menjadi suatu harmonisasi yang sangat menarik dalam kehidupan sosial kita yang tidak hanya di sosial masyarakat, tetapi juga di sekolah. Sehingga memang zonasi ini akan membawa suatu spirit, suatu semangat inklusivitas dalam pendidikan,” tambahnya.