Oleh:
Hadi Wuryanto, S.Kom., M.A. dan Moch. Abduh, Ph.D.
Sekitar bulan Mei - Juni 2022 lalu, untuk kesekian kalinya Indonesia mengikuti Programme for International Student Assessment (PISA). Sebuah tes yang dirancang oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa di Indonesia yang telah/hampir menyelesaikan masa pendidikan dasar. Tes ini tidak berkaitan langsung dengan kurikulum sekolah di Indonesia, melainkan merupakan tes kompetensi yang hasilnya dapat diperbandingkan secara internasional. Tes PISA menilai sejauh mana siswa usia 15 tahun, yang telah/hampir menyelesaikan pendidikan dasarnya, menguasai keterampilan dan pengetahuan yang penting bagi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. Penilaian PISA menitikberatkan pada substansi pembelajaran inti di sekolah yaitu membaca, matematika, dan sains.
Seharusnya sebagai sebuah tes dengan pola penyelenggaraan 3 tahunan, secara jadwal PISA diselenggarakan pada tahun 2021, namun karena hampir di semua belahan dunia terjangkit wabah pandemi COVID, maka pelaksanaannya ditunda menjadi tahun 2022. Sebagaimana lazimnya, hasilnya baru dirilis setahun berikutnya di tahun 2023. Sambil menunggu bagaimana hasil tes PISA tahun 2022 dimaksud, tidak ada salahnya menilik dan menengok sekaligus mengkaji kembali hasil PISA tahun 2018 sebagai refleksi dan ikhtiar untuk peningkatan kompetensi literasi dan numerasi di Indonesia sebagai bagian tidak terpisahkan dari inovasi pembelajaran.
Potret Siswa dan Hasil Tes PISA 2018
Sebagaimana dikutip dari OECD, pada saat tes PISA 2018 berlangsung, di Indonesia diperkirakan terdapat 4.439.086 anak berusia 15 tahun. Dari jumlah tersebut, 85% atau 3.768.508 anak tergolong populasi PISA. Selebihnya, 15% atau 670.578 anak tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari populasi PISA karena sejumlah kondisi, yaitu: 1) anak-anak usia 15 tahun yang tidak berada di bangku sekolah atau berstatus bukan siswa, 2) siswa usia 15 tahun yang belum mencapai kelas 7 atau kelas 1 SMP/sederajat, dan 3) siswa usia 15 tahun yang mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena merupakan anak-anak berkebutuhan khusus.
Sejak PISA 2000 hingga PISA 2018, siswa Indonesia usia 15 tahun paling banyak berada di jenjang pendidikan kelas 9 dan 10 atau 3 SMP/sederajat dan 1 SMA/sedejarat. Karena angka cakupan populasi PISA terus naik, proporsi siswa usia 15 tahun di kelas 9 dan 10 terhadap total anak Indonesia berusia 15 tahun juga terus mengalami kenaikan, dari sebesar 29% pada PISA 2000 menjadi 71% pada PISA 2018. Sebagai perbandingan di sesama negara ASEAN, perkembangan pencapaian tingkat pendidikan siswa usia 15 tahun di Thailand berbeda lagi. Sejak PISA 2003 hingga PISA 2015, sebesar 52% sampai 71% anak usia 15 tahun di negeri ini berada di jenjang pendidikan kelas 9 dan 10, namun dengan pergeseran komposisi menjadi lebih banyak berada di kelas 10. Pada PISA 2000, sebesar 32% anak Thailand usia 15 tahun duduk di kelas 9 dan 21% di kelas 10. Saat PISA 2009 diadakan, proporsi anak usia 15 tahun yang duduk di kelas 10 mencapai 54%, sementara yang duduk di kelas 9 turun menjadi 17%.
Tren nilai PISA Indonesia menunjukkan peningkatan sejak PISA 2000 hingga 2018, dengan peningkatan tipis pada bidang membaca dan sains, dan peningkatan lebih tajam di bidang matematika. Meski tren sepanjang periode naik, pada PISA 2018, skor Indonesia relatif turun di semua bidang. Penurunan paling tajam terjadi di bidang membaca.
Sumber: OECD/UNESCO, 2003; OECD, 2004; OECD, 2007; OECD, 2010;
OECD, 2013; OECD, 2016a; OECD, 2016b.
Pada empat putaran pertama PISA, nilai rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia bergerak naik. Pada PISA 2000, Indonesia memperoleh nilai rata-rata 371. Saat PISA 2009 nilai rata-rata kemampuan membaca naik jadi 402, skor tertinggi yang pernah Indonesia raih. Dalam tiga putaran terakhir PISA, nilai rata-rata kemampuan membaca menurun dan mencapai angka terendah PISA 2018, 371 poin, sama dengan perolehan nilai rata-rata pada PISA putaran pertama 18 tahun sebelumnya. Di bidang matematika, nilai rata-rata tes PISA siswa Indonesia bergerak fluktuatif. Nilai rata-rata terendah diperoleh dalam PISA 2003, sebesar 360. Nilai rata-rata tertinggi dicapai pada PISA 2006, 391 poin. Pada PISA 2018, siswa Indonesia memperoleh nilai rata-rata 379. Dalam bidang sains, meski turun dibandingkan dengan capaian PISA 2015 yang sebesar 402 poin, nilai rata-rata siswa Indonesia dalam PISA 2018 adalah yang tertinggi kedua dalam seluruh periode pelaksanaan PISA. Sementara dalam PISA 2018, Indonesia memperoleh nilai rata-rata 396 di bidang sains, lebih tinggi 3 poin dibanding hasil PISA pertama di tahun 2000. Nilai rata-rata terendah di bidang sains diperoleh pada PISA 2012, sebesar 382 poin.
Titik Kelemahan
Menurut OECD, di bidang membaca, sekitar 27% siswa Indonesia memiliki tingkat kompentensi 1b, sebuah tingkatan dimana siswa hanya dapat menyelesaikan soal pemahaman teks termudah, seperti memetik sebuah informasi yang dinyatakan secara gamblang, misalnya dari judul sebuah teks sederhana dan umum atau dari daftar sederhana. Mereka memperlihatkan kemampuan di beberapa sub-keterampilan, atau elemen dasar literasi membaca, misalnya pemahaman kalimat harfiah, namun tidak mampu menyatukan dan menerapkan keterampilan tersebut pada teks yang lebih panjang atau membuat kesimpulan sederhana.
Masih menurut OECD, di bidang matematika, sekitar 71% siswa tidak mencapai tingkat kompetensi minimum matematika. Artinya, masih banyak siswa Indonesia kesulitan dalam menghadapi situasi yang membutuhkan kemampuan pemecahan masalah menggunakan matematika. Biasanya mereka tidak mampu mengerjakan soal perhitungan aritmatika yang tidak menggunakan bilangan cacah atau soal yang instruksinya tidak gamblang dan terinci dengan baik.
Di bidang sains, OECD menjelaskan bahwa 35% siswa Indonesia masih berada di kelompok kompetensi tingkat 1a dan 17% di tingkat lebih rendah. Tingkat kompetensi 1a mengacu pada kemampuan siswa dalam menggunakan bahan umum dan pengetahuan prosedural untuk mengenali atau membedakan penjelasan tentang fenomena ilmiah sederhana. Bila didukung bantuan, mereka mampu mengawali penyelidikan ilmiah menggunakan maksimal dua variabel, misalnya variabel input dan variabel output. Mereka mampu membedakan hubungan sebab akibat sederhana serta menafsirkan data grafik dan visual yang hanya membutuhkan kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa-siswa pada tingkat 1a mampu memilih penjelasan ilmiah terbaik mengenai data yang tersaji dalam konteks umum.
Permasalahan Umum
Berdasarkan temuan survei PISA sebagaimana dilansir pula oleh OECD, secara umum terdapat 3 permasalahan penting pendidikan di Indonesia yang mendesak untuk segera diatasi. Pertama, besarnya persentase siswa berprestasi rendah. Meskipun Indonesia berhasil meningkatkan akses anak usia 15 tahun masuk ke dalam sistem persekolahan, masih diperlukan upaya lebih besar untuk mendidik mereka agar persentase siswa berprestasi rendah dapat ditekan hingga serendah mungkin. Upaya ini bisa dilakukan melalui peningkatan keterampilan guru SD dalam mengajar membaca sebab keterampilan membaca siswa berkembang di masa awal duduk di bangku SD. Hal lain, hasil PISA 2018 menunjukkan bahwa siswa SMP/MTs di desa cenderung memperoleh nilai rendah dalam kompetensi membaca dibandingkan dengan siswa-siswa dari kelompok karakteristik lain.
Kedua, tingginya persentase siswa mengulang kelas. Karakter siswa yang memiliki kemungkinan tinggi untuk mengulang kelas adalah siswa laki-laki SMP dengan perilaku sering membolos dan terlambat sekolah, dari kelompok sosial ekonomi rendah, dan indek rasa-memiliki sekolah yang rendah pula. Hasil PISA memperlihatkan selisih besar dalam nilai membaca siswa yang mengulang kelas, terutama antara siswa yang pernah mengulang kelas di bangku SD dan yang tidak. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan mengulang kelas tidak membantu upaya peningkatan keterampilan membaca siswa. Dibandingkan kebijakan mengulang kelas, mungkin lebih baik jika guru berusaha lebih keras membekali siswa dengan keterampilan yang cukup agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik di kelas selanjutnya. Menangani masalah siswa mengulang kelas diharapkan dapat meningkatkan perolehan nilai siswa Indonesia dalam PISA 2022.
Ketiga, tingginya ketidakhadiran siswa di kelas. Survei PISA menemukan bahwa siswa-siswa yang membolos seharian atau pada jam pelajaran tertentu cenderung mendapatkan nilai lebih rendah. Ketidakhadiran siswa di kelas ini memiliki keterkaitan erat dengan pengulangan kelas. Jika tingkat ketidakhadiran siswa dapat ditekan, perolehan nilai siswa di Indonesia pada PISA 2022 diharapkan meningkat.
Temuan Penting
Jika ditelisik lebih jauh dan lebih detail, sebagaimana rilis dari Pusat Penilaian Pendidikan saat itu, terdapat beberapa temuan penting yang diperoleh dari hasil tes PISA 2018. Diantaranya: Satu, sistem pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan terbesar keempat di dunia dengan 53 juta siswa yang bersekolah di 270 ribu sekolah dengan 3,4 juta guru. Keragaman budaya, etnis dan bentang alam Indonesia yang berupa negara kepulauan menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan Indonesia. Dua, laju peningkatan kemampuan siswa Indonesia tidak sebanding dengan laju peningkatan akses pendidikan. Dengan cakupan populasi sebagaimana PISA 2000 (39%), kemampuan membaca siswa Indonesia sekitar 436 poin, akan tetapi dengan cakupan populasi 85% di tahun 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia turun drastis menjadi 371.
Tiga, secara konsisten siswa dari sekolah pedesaan dan jenjang SMP memiliki kemampuan membaca yang rendah dalam enam putaran PISA terakhir. Kemampuan membaca siswa pedesaan tercatat 24 poin di bawah rata-rata Indonesia, sedangkan kemampuan membaca siswa SMP terdeteksi 27 poin di bawah rata-rata Indonesia. Empat, sangat penting untuk mengenalkan kemampuan membaca bagi siswa Indonesia sejak TK. Perbedaan kemampuan membaca siswa Indonesia yang pernah mengenyam TK di atas 30 poin pada putaran PISA 2009 – 2015, tetapi turun menjadi 16 poin ketika Indonesia memperluas akses pendidikan TK.
Lima, karakteristik sekolah SMP swasta yang berlokasi di kota kecamatan memiliki rata-rata kemampuan membaca lebih rendah dibandingkan sekolah SMA Negeri yang berlokasi di ibukota provinsi. Dimana secara bersamaan, faktor-faktor tersebut memberikan perbedaan rata-rata membaca sekitar 76 poin atau setara dengan dua tahun ajaran pendidikan. Enam, sebanyak 7 dari 10 siswa usia 15 tahun memiliki tingkat literasi membaca masih di bawah kompetensi minimal. Mereka hanya mampu mengidentifikasi informasi rutin dari bacaan pendek serta prosedur sederhana.
Tujuh, siswa dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama memiliki skor membaca 40 poin lebih tinggi ketika diajar oleh guru yang memanfaatkan TIK. Ini menunjukkan bahwa memiliki infrastruktur TIK saja tidak cukup. Perangkat itu harus digunakan secara maksimal dalam pembelajaran. Delapan, siswa yang mengaku dilibatkan guru mereka dalam pembelajaran membaca, memiliki skor membaca 30 poin lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah atau jarang terlibat dalam penugasan tersebut. Sembilan, membaca dengan suara nyaring bukan merupakan cara yang efektif. Hasil PISA menunjukkan strategi membacakan nyaring suatu bacaan bagi siswa lainnya tidak efektif untuk meningkatkan pemahaman isi bacaan bagi siswa usia 15 tahun. Berkonsentrasi pada isi bacaan, menandai atau merangkum dengan kata-kata sendiri terbukti lebih efektif untuk memahami isi bacaan. Sepuluh, penugasan untuk merangkum berbeda dengan menyalin. Ketika guru memberikan tugas untuk merangkum, perlu dipastikan bahwa siswa benar-benar merangkum dengan kata-katanya sendiri, tidak sekedar menyalin isi bacaan. Aktivitas merangkum yang efektif dalam menumbuhkan kemampuan membaca adalah yang mampu menangkap hal-hal yang penting dan menuliskannya kembali dengan kreativitas sendiri.
Sebelas, siswa perlu dibiasakan dengan jenis dan format bacaan yang beragam. Hasil PISA 2018 menunjukkan 1 dari 3 siswa Indonesia mengaku hanya sekali atau bahkan tidak pernah diberikan tugas membaca teks yang berisi diagram atau peta serta teks berbasis digital. Akibatnya, salah satu soal PISA 2018 sangat sulit bagi siswa Indonesia karena berasal dari bacaan yang berisi peta perairan dunia. Hanya 1 dari 30 siswa Indonesia yang mampu menjawab benar soal tersebut. Dua Belas, membiasakan siswa membaca untuk mengisi waktu luang. Siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam seminggu untuk membaca untuk membaca di waktu luang, capaian skor PISA-nya lebih tinggi 50 poin dibanding yang lain.
Kesiapan Sekolah untuk PISA 2022
Sebagaimana diberitakan dalam Buletin Asesmen volume 19, nomor 1, edisi April 2022, total ada 413 sekolah di jenjang SMP/sederajat dan SMA/SMK sederajat yang terpilih menjadi sekolah sampel dalam PISA 2022. Hampir seluruh provinsi di Indonesia terwakili memiliki sekolah sampel, dengan over sampling di provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bangka Belitung.
Sosialisasi PISA 2022 sudah dijalankan ke beberapa provinsi sampel sepanjang akhir tahun 2021 dengan harapan penyelenggaraan PISA 2022 berjalan baik dan lancar sesuai harapan. Pun skor yang dicapai bisa merangkak naik menjadi lebih baik. Beberapa sekolah memberitakan tingkat kesiapan yang tinggi untuk menghadapi PISA 2022, misalnya SMP Negeri 4 Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk menyiapkan peserta didik mengikuti PISA 2022 sebaik mungkin, berbagai upaya telah dilakukan oleh SMP Negeri 4 Pakem sejak jauh sebelumnya, antara lain : 1) melaksanakan pembelajaran berbasis HOTS Literacy, 2) melaksanakan Penilaian Tengah Semester/Akhir Semester dengan sistem open source dan memanfaatkan teknologi, 3) melaksanakan uji coba soal-soal dengan format seperti soal tes PISA, 4) mewujudkan generasi literat melalui Gelang Si Cantik (Gerakan Literasi Mengangkat Prestasi dengan Membaca, Menulis, dan TIK), 5) meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran berbasis HOTS Literacy, 6) meningkatkan kompetensi guru dalam pengembangan perangkat pembelajaran yang mengarah ke PISA melalui workshop Micro Learning, dan 7) menyediakan link simulasi soal mengarah PISA yang mudah diakses oleh peserta didik.
Sekolah ini juga mendorong guru pengampu semua mata pelajaran untuk menyelenggarakan pembelajaran yang melatih peserta didik berpikir tingkat tinggi dan menciptakan budaya literasi. Mereka memiliki pemahaman bahwa keberhasilan peningkatan kompetensi literasi dan numerasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh mata pelajaran Bahasa dan Matematika saja, namun pembiasaan itu harus melekat di semua mata pelajaran karena literasi membaca dan numerasi membutuhkan konteks. Peserta didik diberikan pengayaan konteks dari berbagai mata pelajaran yang akan memperkuat kemampuanl iterasi peserta didik. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan disana menggunakan model-model pembelajaran yang dapat memfasilitasi peserta didik dalam mengkonstruksi pemahamannya, seperti Problem Based Learning, Discovery Learning, Project Based Learning, dan beberapa lainnya. Melalui inovasi pembelajaran seperti ini, siswa dilatih untuk terus bertanya, menalar, menyusun proyek, dan mengomunikasikan gagasannya, baik secara lisan maupun melalui tulisan.
Disana juga disediakan link simulasi soal mengarah PISA yang mudah diakses oleh peserta didik. Website sekolah juga dimanfaatkan untuk memaksimalkan pembelajaran yang diselenggarakan. Disediakan pula link bahan untuk mempersiapkan PISA dan AKM. Harapannya, peserta didik dapat memanfaatkannya di manapun mereka berada sehingga persiapan PISA juga dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta didik.
Sekolah lainnya, SMP PGRI 1 Parung yang terletak di Jalan Raya Parung, Bogor, Jawa Barat telah mengirim beberapa perwakilan guru untuk mengikuti kegiatan pendampingan persiapan pelaksanaan PISA yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai salah satu bentuk persiapan menuju PISA 2022. Bagi SMP PGRI 1 Parung, keikutsertaan dalam pelatihan tersebut adalah hal penting karena mendapatkan penguatan literasi membaca dan literasi matematika yang sangat diperlukan siswa untuk dapat menyelesaikan soal-soal tes PISA.
Pengetahuan yang diperoleh guru peserta pelatihan tentang PISA diharapkan dapat diteruskan ke guru lain dan siswa sehingga siswa memiliki modalitas dalam mengerjakan soal-soal tes PISA. Begitu juga siswa-siswi yang telah mengikuti Asesmen Kompetensi Minimum(AKM) tahun sebelumnya diharapkan menjadi berpengalaman dalam mengerjakan berbagai bentuk soal yang beragam.
Beda pula yang dipersiapkan SMK Putra Bangsa, Depok yang merupakan satu-satunya sekolah di Kota Depok yang menjadi sampel PISA 2022. Juga untuk pertama kalinya, sekolah ini terlibat dalam tes berstandar internasional seperti PISA tersebut. Sekolah ini berharap keikutsertaannya dimaksud dapat menjadi bahan evaluasi sekolah untuk bisa menjadi lebih baik lagi dalam peningkatan kualitas pendidikan. Lebih dari itu, sekolah juga berharap dapat merancang program atau kegiatan yang lebih efektif dan tepat sasaran dalam pengembangan sekolah.
Pengelola SMK Putra Bangsa Depok meyakini sekolahnya telah cukup siap menjalankan tes PISA karena telah melakukan sosialisasi berikut instalasi aplikasi sesuai pedoman di akhir tahun lalu. Secara teknis mereka meyakini sudah tidak ada masalah. Sayangnya, para guru mengaku belum memberikan penyampaian atau memberikan instruksi khusus kepada siswa tentang hal tersebut. Sebagian guru (khususnya guru Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA) juga belum memiliki gambaran PISA secara utuh. Mereka juga mengaku tidak mempersiapkan trik khusus dalam menghadapi tes PISA 2022. Meski demikian, guru-guru di sekolah ini telah memulai mempersiapkan soal-soal yang menguji nalar siswa.
Secara umum, berbagai persiapan ideal telah dilakukan oleh sekolah dan guru (dengan persentase yang cukup besar dan tidak saling dominan), seperti menguatkan pembelajaran kepada siswa-siswa yang umumnya mengalami learning loss dampak pandemi, memperkenalkan pembelajaran yang lebih kolaboratif, hingga memberikan asesmen dengan soal-soal yang menguji penalaran siswa atau soal-soal level HOTS.
Akhirnya, hasil PISA 2018 dengan teliti telah kita bedah, permasalahan umum juga sudah ditemukan, temuan-temuan penting berhasil diidentifikasi, titik-titik kelemahan sudah kita cermati pula, sekolah, guru dan siswa sudah mempersiapkan diri dengan baik, serta inovasi pembelajaran juga sudah banyak diselenggarakan. Akankah semua itu memiliki daya ungkit untuk meningkatkan capaian skor siswa Indonesia di PISA 2022? Kita tunggu.-
18 Komentar terkait Berita